Field ini diperlukan.
Memahami “Arti FOMO”: Rasa Takut Tertinggal dan Cara Mengubahnya Menjadi Kendali Hidup
Istilah FOMO (Fear of Missing Out) mencerminkan kecemasan psikologis yang semakin nyata di era digital—sebuah ketakutan akan tertinggal dari apa yang dialami orang lain: informasi terkini, tren gaya hidup, hingga pencapaian sosial. Lebih dari sekadar istilah populer, FOMO adalah tekanan mental yang mendorong kita untuk selalu terkoneksi, membandingkan diri, dan membuat keputusan terburu-buru demi merasa “tidak ketinggalan.” Padahal, dalam banyak momen, yang benar-benar kita butuhkan justru adalah ketenangan, kendali diri, dan keberanian untuk memilih hidup sesuai ritme pribadi—bukan desakan sosial.
FOMO (Fear of Missing Out) bukan sekadar kekhawatiran akan tertinggal tren, melainkan cerminan dari kerentanan mendasar dalam diri manusia—yakni kebutuhan akan pengakuan, kebersamaan, dan validasi sosial. Di tengah arus digital yang begitu deras, kondisi ini semakin kompleks. Setiap aktivitas di media sosial kini menjadi ruang perbandingan yang tidak berkesudahan: melihat rekan berlibur ke luar negeri, kolega membeli gawai terbaru, atau kenalan yang tampak selalu sukses dan bahagia. Tanpa disadari, kita merasa tertinggal, seolah-olah tidak menjadi bagian dari lingkaran sosial yang kita harapkan. Tekanan sosial semacam ini hadir secara halus namun konsisten, perlahan mengikis harga diri dan mendorong individu membuat keputusan bukan berdasarkan kebutuhan personal, melainkan demi memenuhi ekspektasi luar.
Menurut data dari Halodoc dan berbagai survei lokal, remaja dan dewasa muda di Indonesia adalah kelompok paling rentan terhadap gejala FOMO. Mereka tumbuh dalam lingkungan digital yang terus menyorot pencapaian orang lain, namun jarang memberi ruang untuk mengenal diri sendiri. Di balik keputusan impulsif untuk membeli, bergaya, atau mengikuti arus, sering kali tersembunyi rasa takut tertinggal.
FOMO bukan hanya soal ketakutan, tapi juga tentang kelelahan emosional yang tak terlihat. Kita haus akan keterhubungan, tetapi malah terjebak dalam perasaan tak pernah cukup. Inilah mengapa memahami arti FOMO secara mendalam adalah langkah awal untuk membebaskan diri—agar kita bisa menjalani hidup bukan karena takut tertinggal, tapi karena sadar akan arah yang ingin dituju.
FOMO tidak hanya memengaruhi cara kita berpikir, tetapi juga membentuk pola hidup sehari-hari—seringkali tanpa disadari. Hasrat untuk “tidak tertinggal” membuat banyak orang terjebak dalam siklus yang melelahkan: mencari validasi, membandingkan diri, hingga mengambil keputusan impulsif yang justru merugikan diri sendiri.
Beberapa dampak nyata dari FOMO dalam kehidupan modern antara lain:
FOMO mendorong individu untuk terus aktif di media sosial, memantau update, dan membagikan aktivitas pribadi hanya demi merasa “ikut” dan mendapat pengakuan. Ini bisa berujung pada ketergantungan terhadap “like” atau komentar sebagai tolak ukur harga diri.
Belanja instan demi mengikuti tren terbaru menjadi kebiasaan umum, walau sebenarnya tidak dibutuhkan. Beberapa studi mencatat adanya korelasi antara tingkat FOMO dan perilaku belanja impulsif, terutama saat menghadapi promo dan diskon besar-besaran.
Tekanan untuk terus terhubung dan “terlihat aktif” membuat banyak orang merasa cemas, lelah mental, bahkan mengalami gangguan tidur. Rasa tidak pernah cukup ini memicu stres kronis yang perlahan merusak kualitas hidup secara menyeluruh.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa FOMO bukan lagi sekadar kekhawatiran ringan, melainkan faktor psikologis serius yang membentuk pola hidup konsumtif dan emosional yang tidak stabil. Tanpa disadari, gaya hidup yang tampak aktif dan up-to-date justru bisa menggerus ketenangan, keuangan, dan bahkan kesehatan.
FOMO yang tidak dikelola dengan bijak bukan hanya memengaruhi keputusan sehari-hari, tetapi juga berdampak jangka panjang terhadap kesejahteraan mental dan finansial. Dorongan terus-menerus untuk merasa “ikut serta” dapat menjadi racun perlahan yang mengikis stabilitas diri.
Beberapa risiko jangka panjang akibat FOMO antara lain:
Kecemasan sosial, stres kronis, dan penurunan harga diri sering muncul akibat perbandingan yang terus-menerus dengan orang lain. Perasaan “selalu tertinggal” menciptakan tekanan psikologis yang membuat individu merasa tidak pernah cukup, tidak pernah mampu mengejar, dan tidak pernah puas.
Pengambilan keputusan keuangan yang impulsif—seperti membeli barang karena takut ketinggalan tren—membuat banyak orang kehilangan kendali atas pengeluaran. Lebih berbahaya lagi, kebiasaan ini sering dikaburkan oleh kemudahan layanan PayLater, cicilan online, hingga pinjaman digital. Jika tidak disertai perencanaan dan kontrol yang matang, hal ini bisa mengarah pada krisis keuangan pribadi.
Di tengah tekanan gaya hidup konsumtif dan gempuran iklan digital, penting untuk menyadari bahwa tidak semua hal harus dikejar. FOMO yang tidak ditangani dapat menjadi akar dari masalah mental dan keuangan yang kompleks. Untuk itu, perlu ada upaya sadar untuk membangun kesadaran diri, memilah prioritas, dan melindungi diri dari dampak jangka panjang yang merugikan.
FOMO mungkin sulit dihindari di era serba cepat dan terkoneksi, tetapi bukan berarti kita tidak punya pilihan. Justru di tengah tekanan sosial dan dorongan konsumtif yang terus mengintai, membangun mindset baru adalah bentuk keberanian yang paling relevan hari ini.
Salah satu pendekatan yang kian diperbincangkan adalah FOJO (Fear of a Just Outcome)—bukan lagi takut tertinggal dari yang lain, melainkan takut tidak siap menghadapi masa depan akibat keputusan emosional hari ini. FOJO mengajak kita untuk hidup dengan kesadaran: bahwa masa depan yang stabil adalah buah dari pilihan-pilihan sadar yang dibuat saat ini.
Beberapa langkah konkret untuk mentransformasi mindset ini antara lain:
Berhenti membandingkan diri dan mulai menghargai proses diri sendiri adalah langkah penting untuk membangun mental yang sehat.
Fokus pada apa yang sudah dimiliki akan menumbuhkan ketenangan batin, bukan kekosongan yang haus validasi.
Punya arah dan visi hidup akan membantu menghindari jebakan tren sesaat yang menggoda.
Memahami cara kerja uang, belajar menahan impuls belanja, dan menyusun prioritas finansial adalah bekal utama menuju hidup yang stabil.
Menggeser mindset dari FOMO ke FOJO bukan soal menjauh dari kesenangan, tetapi soal membangun hidup yang lebih terarah, penuh kesadaran, dan siap menghadapi masa depan—apapun bentuknya. Karena di balik kontrol diri hari ini, ada kebebasan yang lebih besar menanti esok hari.
Beranjak dari kebutuhan proteksi yang bukan lagi sekedar pilihan, Asuransi Mandiri Flexi Proteksi menawarkan manfaat lengkap yang dapat disesuaikan dengan situasi hidup Anda, di antaranya:
Dengan manfaat seperti ini, Asuransi Mandiri Flexi Proteksi menjadi pilihan ideal—melindungi semangat dan tujuan hidup Anda dengan cara yang cerdas dan terjangkau.
Konsultasikan perencanaan finansial Anda bersama Financial Advisor dan Life Planner AXA Mandiri. Kami siap membantu Anda memahami manfaat berbagai jenis asuransi jiwa serta memberikan solusi perlindungan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi keuangan Anda. Segera kunjungi situs resmi AXA Mandiri atau hubungi 1500803 untuk mendapatkan informasi dan pendampingan lebih lanjut.
Sumber: